Apakah Pertanian Organik Layak
secara Ekonomi?.
Bicara
keberlanjutan dalam pertanian organik, tidak dapat dipisahkan dengan dimensi
ekonomi, selain dimensi lingkungan dan dimensi sosial. Pertanian organik tidak
sebatas hanya meniadakan penggunaan asupan eksternal sintetis, tetapi juga
pemanfaatan sumber-sumber alam secara berkelanjutan, produksi makanan sehat dan
menghemat energi. Aspek ekonomi dapat berkelanjutan bila produksi pertaniannya
mampu mencukupi kebutuhan dan memberikan pendapatan yang cukup untuk
melaksanaan keberlanjutan penghidupan. Tetapi, kerapkali motivasi ekonomi
menjadi kemudi yang menyetir arah pengembangan pertanian organik. Di satu sisi
dapat mendorong pengembangan pertanian organik di Indonesia , tetapi di sisi lainnya
dapat menjadi bumerang yang dapat meruntuhkan pondasi gerakan pertanian organik
yang sedang dibangun.
Ekonomi Lahan
Budidaya
pertanian organik mengintikan pada keselarasan alam, melalui keragaman hayati
dan pengoptimalan penggunaan asupan alami yang berada di sekitar melalui proses
daur ulang bahan-bahan alami. Dalam proses budidayanya, dari persiapan lahan
hingga pemanenan tidak dapat dilepaskan dengan interaksi kedua hal tersebut.
Pertanian
organik yang berasal dari lahan konvensional (lahan yang intensif penggunaan
asupan kimia sintetis) perlu masa peralihan. Peralihan dari pertanian yang
dikelola secara konvensional ke pertanian organik seharusnya tidak hanya
memperbaiki ekosistem lahan, namun juga menjamin kelangsungan hidup (secara
ekonomi) lahan tersebut. Karena itu, penyesuaian, kesempatan dan resiko yang
dituntut untuk peralihan itu saling berkaitan dan harus diperhatikan.
Peralihan
ke pertanian organis memerlukan pola pikir yang baru pula. Seluruh anggota
keluarga yang terlibat dalam pengelolaan lahan harus siap dalam melakukan
perubahan-perubahan dalam banyak aspek. Yang pertama dan terpenting adalah cara
pandang petani itu sendiri terhadap pertanian organik.
Potensi
ekonomi lahan pertanian dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berperan dalam
perubahan biaya dan pendapatan ekonomi lahan. Setiap lahan memiliki potensi
ekonomi bervariasi (kondisi produksi dan pemasaran), karena lahan pertanian
memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan kondisi lahan tersebut.
Maka faktor-faktornya bervariasi dari satu lahan ke lahan yang lain dan dari
satu negara ke negara yang lain. Secara umum, semakin banyak perubahan dan
adopsi yang diperlukan dalam lahan pertanian, semakin tinggi pula resiko
ekonomi yang ditanggung untuk perubahan-perubahan tersebut.
Kemampuan
ekonomi suatu lahan dapat diukur dari keuntungan yang didapat oleh petani dalam
bentuk pendapatannya. Keuntungan ini bergantung pada kondisi-kondisi produksi
dan pemasaran. Keuntungan merupakan selisih antara biaya (costs) dan
hasil (returns). Modal tetap atau fixed costs (yang tidak
secara langsung bergantung pada ukuran produksi) merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk membeli atau menyewa tanah, bangunan atau mesin-mesin; atau
bisa juga biaya yang disediakan untuk menggaji pekerja-pekerja tetap. Upah bagi
buruh tani (termasuk bila menggunakan tenaga kerja keluarga) yang bekerja untuk
pekerjaan-pekerjaan khusus (misalnya pada waktu panen) tergantung pada ukuran
produksi. Ini disebut sebagai modal tidak tetap (variable costs),
termasuk biaya yang dikeluarkan untuk membeli asupan (misalnya benih, manur,
pestisida). Sebuah lahan bisa dikatakan layak secara ekonomi jika hasil yang
didapat melampaui total modal tidak tetap dan penurunan nilai modal tetap.
Hasil utamanya berupa uang yang diterima dari penjualan produk yang dihasilkan.
Untuk memperhitungkan keuntungan lahan keluarga dan kegiatan-kegiatan lahan,
penghematan pengeluaran untuk makan dan pendapatan yang diperoleh dari luar
lahan (misalnya sebagai buruh upahan atau dari kegiatan usaha yang lain) harus
turut diperhitungkan.
Pada
masa peralihan ini perlu dilihat, apakah biaya produksi dan hasil panenan akan
meningkat atau menurun?. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya-biaya selama dan
setelah peralihan tidak selalu sama dan bergantung pada jenis pertaniannya, apakah
bertani tradisional atau intensif?, dan jenis produksinya -(tanaman apa yang
utama?. Apakah juga memelihara hewan ternak?)- serta kondisi lingkungan dan
sosial-ekonomi.
Karena
itu, penyamarataan biaya produksi tidak mungkin dilakukan. Dalam kasus-kasus
yang sering dijumpai di lahan, biaya asupan awal mengalami kenaikan karena
petani harus membeli manur organik untuk membangun materi organik tanah. Selain
itu, diperhitungkan pula biaya untuk menggaji pekerja -mengangkut manur,
membersihkan semak, dll- yang menjadi rangkaian pekerjaan yang disesuaikan
dengan kondisi lahan dan sistem pertanian organiknya. Ini dapat menaikkan biaya
produksi secara keseluruhan. Sementara hasil produksinya dapat menurun sekitar
10-50 persen dari hasil pertanian konvensional, tergantung dari tanaman dan
sistem pertaniannya.
Penurunan
hasil panen bisa terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu, terutama jika
kesuburan tanah amat rendah akibat kekurangan materi organik tanah. Hal ini
dapat mengecewakan petani yang berharap mengalami peningkatan hasil dari sistem
organik. Jika demikian situasinya, perlu dinilai secara individu di setiap
daerah dan di setiap lahan. Untuk menghindari kekecewaan yang berlebihan,
petani yang tertarik untuk beralih ke pertanian organis harus diingatkan untuk
bersiap-siap menghadapi penurunan hasil pada tahun-tahun awal dan tidak perlu
khawatir karena setelah tiga hingga lima
tahun hasil panen akan naik dan memuaskan. Tampaknya perbaikan hasil panen
dapat menjadi lebih tinggi pada daerah yang memiliki iklim lembab dengan tanah
yang mengandung banyak materi organisnya.
Berdasarkan
studi literatur dan bukti empirik di lapangan, setelah masa peralihan dilalui,
hasil panen pertanian organis mengalami peningkatan seperti jumlah semula
bahkan dapat melebihi. Jadi, pada waktu proses peralihan dari pertanian
konvensional ke organis selesai, hasil panen yang didapat sangat positif karena
tidak mengalami penurunan.
Selain
itu, setelah masa peralihan usai, tanah lahan telah ‘pulih’ dan keanekaragaman
hayati di lahan telah mengalami keseimbangan, memberikan kontribusi bagi
penurunan biaya produksi seperti biaya sebelum perubahan atau mungkin lebih
rendah, mengingat saat itu lahan tidak membutuhkan asupan kimia pertanian (agro
kimia) yang sangat mahal harganya karena cukup memanfaatkan sumber-sumber yang
ada di lahan itu sendiri.
Hasil/keuntungan
tidak hanya bergantung pada jumlah panen tetapi juga harga yang diberikan oleh
pasar. Meskipun demikian, pada umumnya petani berharap mendapat harga premium
untuk produk-produk organis mereka setelah lahan mereka organik. Tetapi,
bilapun harga premium tidak terpenuhi, sebenarnya petani organik untung karena
biaya produksi organik lebih rendah dibandingkan non organik. Permasalahannya
adalah kapan jerih payah petani dihargai lebih dari sekedar angka-angka dalam
biaya produksi?
Berikut
ini disajikan perbandingan analisis usaha budidaya organik dan konvensional
pada padi. Analisis dibuat untuk luasan lahan satu hektar, nilai atau harga
yang digunakan berlaku untuk daerah Lubuk Cemara, Kab Serdang Bedagai , Sumatra
Utara pada Musim tanam bulan Mei – Agustus Tabel 1
1.Perbandingan Operasional
Budidaya Organik dan Konvensional per hektar
No |
|
|
|
Organik
|
|
|
Konvensional
|
|
1 |
BENIH |
10 kg
|
Rp 10.000 |
Rp 100.000 |
|
40 Kg |
Rp 6.500 |
Rp 260.000 |
2 |
PUPUK DASAR |
|
|
|
|
|
|
|
|
Kompos Bahan Fermentasi KCL SP36 Pupuk Organik |
2000 Kg
2 Kg
10 lt
|
Rp 750
Rp 40.000
Rp 40.000
|
Rp 1.500.000
Rp 80.000
Rp 400.000
|
|
-
150 Kg
100 Kg
100 Kg
-
|
-
Rp 1.400
Rp 2.800
Rp 1.850
-
|
-
Rp 210.000
Rp 280.000
Rp 185.000
-
|
3 |
PUPUK SUSULAN |
|
|
|
|
|
|
|
|
Kompos Urea KCL SP36 Pupuk Organik |
-
-
7 kg
|
-
-
Rp 70.000
|
-
-
Rp 490.000
|
|
-
100 Kg
50 Kg
50 Kg
-
|
-
Rp 1.400
Rp 2.800
Rp 1.850
-
|
-
Rp 140.000
Rp 97.500
Rp 92.500
-
|
4 |
PENYEMPROTAN |
|
|
|
|
|
|
|
|
Pupuk Organik |
5 lt
|
Rp 40.000
|
Rp 200.000
|
|
|
|
|
5 |
PESTISIDA |
|
|
|
|
|
|
|
|
Pestisida Organik Pestisida Kimia |
2
-
|
Rp 40.000
-
|
Rp 80.000-
-
|
|
-
10 lt
|
-
Rp 50.000
|
-
Rp 500.000
|
6 |
TENAGA KERJA |
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengolahan lahan Penanaman Penyulaman Penyiangan Pemupukan Penyemprotan Pemanenan |
|
|
Rp 625.000
Rp 450.000
Rp 200.000
Rp 150.000
Rp 100.000
Rp 50.000
Rp 1.875.000
|
|
|
|
Rp 625.000
Rp 450.000
Rp 200.000
Rp 150.000
Rp 100.000
Rp 50.000
Rp 1.125.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7 |
Biaya Non Tehnis |
|
|
|
|
|
|
|
|
Bunga Pinjaman Tengkulak Potongan hasil Panen |
-
-
|
-
-
|
-
-
|
|
15%
4%
|
Rp 5.376.704
Rp 11.250.000
|
Rp 806.506
Rp 450.000
|
|
TOTAL MODAL |
|
|
Rp 6.100.000
|
|
|
|
Rp 5.721.506
|
|
HASIL |
7.500 Kg
|
Rp 2.500
|
Rp 18.750.000
|
|
4.500 Kg
|
Rp 2.500
|
Rp 11.250.000
|
|
KEUNTUNGAN |
|
|
Rp 12.650.000
|
|
|
|
Rp 5.528.494
|
Terlihat
bahwa, biaya operasional budidaya padi dari penyediaan benih hingga penanaman
padi organik Pola LMTO dan konvensional tidak terlalu berbeda. Perbedaan tampak
pada penggunaan asupan-asupan eksternal bagi perawatan tanaman.
Pada
budidaya organik Pola LMTO penggunaan pestisida organik tidak mutlak
dibutuhkan, bila di butuhkan cukup dengan pemakaian 2 lt/H dengan harga Rp
40.000/lt
Dengan
asumsi tidak terjadi puso dan lahan organik telah terbentuk, setiap hektar
sawah akan mampu menghasilkan gabah 7.5 ton, sedangkan sawah konvensional
menghasilkan gabah 4.5 ton/H .. Bila harga gabah organik Pola LMTO dan
konvensional dihargai sama yaitu Rp. 2.500,- per kilo gram, maka petani organik
akan mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 18.750.000,-. Dengan demikian,
keuntungan petani organik sebesar Rp. 13.140.000,- dan petani konvensional
hasil gabah sebesar Rp. 11.250.000,-, keuntungan Rp 5.528.494. Artinya, dilihat
dari sudut asupan pertanian saja dengan cara membandingkan hasil pendapatan,
budidaya pertanian organik dengan pola LMTO lebih menguntungkan 50 persen
dibandingkan dengan pertanian konvensional.
Dari
segi aspek bisnis Kilang Padi, budidaya pertanian organic Pola LMTO lebih
menguntungkan karena rendemen gabah lebih tinggi, budidaya konvensional
rendenem 50%. Pola LMTO bisa mencapai 60 – 70 %. Jadi ada selisih 10-20%.
Hal
lain dari budidaya konvensional yaitu pengaruh dari para tengkulak yang telah
lama berperan dalam keterpurukan petani Indonesia , karena memanfaatkan
mereka sebagai lahan bisnis dengan cara yang tidak adil.
Dalam
data di atas, tidak dimasukannya biaya sewa lahan karena biaya tersebut dapat
dianggap sama antara lahan organik Pola LMTO dan non organik.
Ditinjau
dari kelayakan usaha, secara finansial dapat dilihat dari BEP (break event
point), radio B/C (benefit cost), dan ROI (return of
investment) dengan asumsi menggunakan harga beras organis dan non organik
saat ini.
Gabah Organik
a. BEP
Suatu usaha budidaya dikatakan berada pada titik impas
atau balik modal berarti bahwa besarnya hasil sama dengan modal yang
dikeluarkan. Perhitungan BEP ada dua, yaitu BEP volume produksi dan BEP harga
produksi.
BEP Volume produksi = Biaya produksi = Rp.
5.610.000,- = Rp. 2.244/Kg
Harga produksi Rp. 2.500,-
Artinya, titik balik modal usaha budidaya organik Pola
LMTO dapat tercapai pada tingkat volume produksi sebanyak 2.244 kilogram untuk
sekali panen.
BEP harga produksi = Biaya operasional = Rp.
5.610.000,- = Rp.748,-/Kg
Jumlah produksi 7.500,- kg
Artinya, titik balik modal tercapai bila harga gabah
organik Pola LMTO yang diperoleh dijual dengan harga Rp.748,- per kilogram.
Rasio B/C
Rasio B/C merupakan ukuran perbandingan antara hasil
penjualan dengan biaya operasional. Dengan rasio B/C akan diperoleh ukuran kelayakan
usaha. Bila nilai yang diperoleh lebih dari satu maka usaha dapat dikatakan
layak untuk dilaksanakan. Namun bila kurang dari satu maka usaha tersebut
dikatakan tidak layak.
Rasio B/C = Hasil Penjualan = Rp. 18.750.000,-
= 3.34
Biaya Operasional Rp. Rp. 5.610.000,-
Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.
18.750.000,- akan diperoleh hasil penjualan sebesar 3.34 kali lipat sehingga
sangat layak untuk diusahakan.
ROI (return of investment)
Analisis ROI merupakan ukuran perbandingan antara
keuntungan dengan biaya operasional. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
efisiensi penggunaan modal.
ROI = Keuntungan x 100% = Rp. 13.140.000 x
100% = 3.34%
Biaya Operasional Rp. 5.610.000,-
Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100,- akan
dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 334,-, sehingga penggunaan modal untuk usaha
ini sangat amat efisien.
Gabah Konvensional
a. BEP
BEP Volume produksi = Biaya produksi
=
Rp 5.721.506,- = Rp. 2.288,60 Kg
=
Rp 5.721.506,- = Rp. 2.288,60 Kg
Harga produksi Rp. 2.500,-
Artinya, titik balik modal usaha budidaya konvensional
dapat tercapai pada tingkat volume produksi sebanyak 2.288,60 kilogram untuk
sekali panen.
BEP harga produksi= Biaya operasional = Rp. 5.721.506,-
= Rp.1.271.44,-/Kg
Jumlah produksi 4.500,-kg
Artinya, titik balik modal tercapai bila harga gabah
konvensional yang diperoleh dijual dengan harga Rp. 1.271.44,- per kilogram.
Rasio B/C
Rasio B/C = Hasil Penjualan = Rp. 11.250.000,-
= 1.96
Biaya Operasional Rp. 5.721.506,-
Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 5.721.506,-
akan diperoleh hasil penjualan sebesar 1.96 kali lipat sehingga layak untuk
diusahakan.
ROI (return of investment)
ROI = Keuntungan x 100% = Rp. 5.528.494
x 100% = 96.6%
x 100% = 96.6%
Biaya Operasional Rp 5.721.506
Artinya biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 100,- akan
dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 96.6,-, sehingga penggunaan modal untuk usaha
ini masih efisien.
Dari hasil analisis finansial terlihat bahwa budidaya
organik Pola LMTO lebih layak dibandingkan konvensional. ini dapat dilihat dari
titik impas volume dan harga produksi gabah organik Pola LMTO jauh lebih kecil
dibanding gabah konvensional. Pembiayaan budidaya organik Pola LMTO juga lebih
rendah dari budidaya konvensional walaupun produksi gabah tetap sama.
Berdasarkan
rasio B/C, budidaya organik Pola LMTO masih lebih besar dibandingkan
konvensional, yaitu 3.34 (Lebih tiga kali) dan 1.96 (hampir dua kali).
Sementara untuk perhitungan ROI menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh
budidaya organik Pola LMTO sebesar hamper 2 kali lipat keuntungan budidaya padi
konvensional. Dengan demikian, modal usaha akan lebih cepat kembali pada
pembudidayaan padi organik Pola LMTO.
Aspek Sosial Dan
Lingkungan, Efisiensi Dalam Pertanian Organik Pola LMTO
Pertanian
organis merupakan strategi pertanian yang ramah lingkungan yang menyandarkan
pada keragaman hayati di lahan pertanian. Memelihara alam di lahan dan sekitar
lahan menciptakan tempat yang nyaman bagi mahluk hidup.
Karena
budidayanya meniru dengan praktek-praktek yang terjadi di alam, pertanian
organik berujung pada budidaya yang efisien. Lambat laun, karena keseimbangan
ekosistem terjadi sebagai buah terjaganya keragaman hayati mengakibatkan biaya
produksi kian menurun. Pertanian organik dimaksudkan menjadi semacam pertanian
yang menggunakan asupan luar serendah mungkin.
Dengan
memperbesar daur ulang bahan-bahan alami di lahan, menjadi cara yang efektif
mengurangi biaya asupan. Misalnya sampah dapur bersama bahan-bahan organik dari
lahan dapat dijadikan kompos. Bahan-bahan dari pangkasan pohon dan pagar
tanaman dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, sementara dedaunan dan
ranting-ranting dapat dipakai sebagai mulsa atau kompos. Yang terpenting,
efisien dari daur ulang nutrisi berupa pengelolaan pupuk hijau. Petani sedapat
mungkin mendaur ulang nutrisi yang berasal dari lahan sendiri dan tidak perlu
membeli dari luar dengan mencari sumber-sumber pupuk yang tersedia di daerah
sekitar ladang, misalnya sampah dari pengolahan hasil pertanian, menanam pangan
sendiri misalnya sayur-mayur, makanan pokok, buah-buahan dan tepung-tepungan.
Cara
lain untuk mengurangi biaya produksi dengan menerapkan metode tumpang
sari/rotasi tanaman sehingga dapat memelihara keragaman species yang dapat
mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT), menggunakan agen hayati lokal
untuk membuat pestisida botani sendiri, memproduksi benih dan semaian sendiri,
memelihara ternak (untuk mendapatkan manur, susu, telur, daging, dll), membuat
pakan ternak di kebun sendiri, saling pinjam-meminjam peralatan dan mesin-mesin
dengan tetangga sesama petani dan membeli peralatan yang dibuat secara lokal
daripada membeli yang impor, menggunakan bahan-bahan konstruksi yang tersedia
di daerah setempat (misalnya bengkel kompos, kandang ternak, alat-alat dll),
bergabung dengan petani lain membentuk usaha simpan pinjam agar terhindar dari
jeratan tengkulak dengan bunga yang mencekik leher.
Selain
untuk mengendalikan OPT, metode tumpang sari dari sisi ekonomi dapat menjadi
cara untuk menjaga kesinambungan produksi/pemasaran dan menghasilkan keragaman
produk pertanian. Artinya, dengan menanam beragam tanaman dalam suatu luasan
lahan tertentu, dimana tanaman memiliki usia tanam tertentu dan dalam jumlah
tak banyak, akan menghasilkan produk pertanian yang beragam dan diperoleh
sepanjang tahun –berdasarkan usia tanam- serta dapat mengontrol harga produk
agar tidak jatuh karena petani tetap menjaga ketersediaan produk terus menerus
tetapi tidak dalam jumlah yang besar.
Keseimbangan
alam dan ekosistemnya secara keseluruhan merupakan aset berharga, yang apabila
dikuantifikasikan -(tidak bermaksud mereduksi makna dan peran alam)-
berkontribusi untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk produksi pertanian
organik.
Untuk
tenaga kerja, fakta yang terjadi di lapangan, pertanian organik menggunakan
tenaga kerja lebih intensif dibanding pertanian konvensional terutama pada masa
peralihan. Hal ini dikarenakan pengoptimalan penggunaan bahan-bahan alami di
sekitar yang dikelola berdasarkan interaksi biologi dan ekologi, dimana
prosesnya dilakukan sendiri dalam komunitas pertanian tersebut. Artinya bahan baku untuk asupan
pertanian diperoleh dalam komunitas dengan cara membeli atau barter antar
anggota komunitas. Ini dapat menekan biaya produksi yang dikeluarkan, tetapi
memerlukan tenaga kerja yang intensif. Kalaupun biaya dikeluarkan untuk
memperoleh asupan-asupan pertanian dan menggunakan tenaga kerja setempat,
perputaran uang hanya terjadi pada komunitas tersebut dan secara tidak langsung
menguatkan tatanan ekonomi dan sosial masyarakat komunitas.
Meskipun
di negara-negara tropis tenaga kerja lebih murah dibandingkan harga asupan
kimia, para petani dalam jangka waktu panjang tetap mengeluarkan biaya untuk
tenaga kerja, baik yang dilakukan sendiri ataupun pekerja upahan. Biaya tenaga
kerja dapat dikurangi, dengan menerapkan metode pencegahan dalam budidayanya.
Seperti metode tumpang sari dan rotasi tanaman dapat membantu dalam
pengendalian hama
dan penyakit tanaman. Pengurangan pengolahan tanah dengan menggunakan
penggunaan jerami dari hasil panen, pemberian manur untuk menumbuhkan dan
memperkaya kandungan materi organik tanah. Dengan memelihara alam, akhirnya
alamlah yang akan memelihara budidaya kita dan memelihara kita.
Praktek
pertanian organik yang dilakukan komunitas memberikan kontribusi bagi
pengembangan pembangunan pedesaan. Pertanian organik dan pertanian terpadu
mewakilkan kesempatan pada semua tingkatan, mendorong ekonomi pedesaan melalui
pembangunan berkelanjutan. Malah kesempatan kerja baru di pertanian menjadi
bukti dari pertumbuhan sektor organik.
No comments:
Post a Comment